Judul : Piano di Kotak Kaca
Pengarang : Agnes Jessica
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 384 halaman
Sejak
kecil, Sheila hidup dalam lingkungan keluarga yang buruk. Ayahnya, Charles,
selalu bertengkar dengan Ibunya, Mira. Tak jarang wajah Ibunya lebam- lebam
karena dipukuli sang Ayah. Suatu hari, Charles ditangkap polisi karena dituduh
membunuh Mira. Memang sejak dua hari yang lalu Mira menghilang. Malam hari itu
juga Charles kedapatan menyeret karung yang diduga kuat berisi mayat Mira.
Karung
itu hanyut. Jasad Mira tidak ditemukan. Awalnya Charles tidak mengaku, tetapi
ia mengaku pada akhirnya. Sheila terpukul. Ia tidak menyangka bahwa Ayahnya
adalah seorang pembunuh. Mendengar kabar itu, Haryanto, adik angkat Charles,
berinisiatif untuk merawat Sheila. Sheila kemudian dibawa ke rumahnya.
Awalnya
Sheila ragu. Namun ia tidak enak hati menolak kebaikan hati paman angkatnya
itu. Jadilah Sheila tinggal dengan keluarga barunya. Sayangnya, kedatangan
Sheila tidak disambut hangat oleh keluarga Haryanto. Ratna, istri Haryanto,
menjadikan Sheila sebagai pembantu. Sedangkan Reza, putra sulung Haryanto,
senang menggoda Sheila. Renny, adik Reza, apalagi. Ia selalu semena- mena
terhadap Sheila.
Sheila
hanya bisa pasrah. Ia baru bisa keluar dari rumah Haryanto saat Renny bersikap
keterlaluan padanya. Gadis itu mengambil miniatur kotak piano Sheila yang
merupakan kenangan satu- satunya yang Sheila punya dari Ibunya. Tentu saja
Sheila keberatan. Namun Renny tetap ngotot. Merasa tidak senang, miniatur itu
ia banting ke lantai hingga pecah. Sheila menjadi kalap. Ia mengambil botol
tempat air minum lalu menghantamnya ke kepala Renny tapi yang kena malah kepala
Reza.
Ratna
yang marah besar lalu mengirim Sheila ke sebuah sekolah berasrama di Ciloto. Di
sinilah awal hidup Sheila yang baru. Namun predikat sebagai anak pembunuh
membuat ia kurang diterima. Ia hanya bersahabat dengan Wenny dan Tini, teman
sekamarnya. Di sini jugalah Sheila mengenal Bram, yang kemudian menjadi
pelindung sekaligus cinta pertamanya.
Bram
adalah penghuni rumah di belakang asrama. Pria itu sebenarnya tampan, hanya
saja di wajah bagian kirinya terdapat bekas luka dan kakinya timpang. Mungkin keadaan
fisik Bram ini yang menjadikan dirinya tertutup. Namun ia berhati baik. Ia yang
menampung Sheila ketika gadis itu tiba- tiba datang ke rumahnya saat ia akan
ditangkap karena (lagi- lagi) menghantam kepala temannya dengan balok. Jadilah
Sheila tinggal dengan Bram. Tugasnya membantu pekerjaan Kakek Eman mengurus
rumah.
Kehadiran
Sheila ternyata membuat hidup Bram lebih berwarna. Keduanya saling jatuh cinta.
Namun hidup ini tidak mudah. Kenyataan yang terhampar jelas membuat mereka harus
berpisah. Setelah berpisah dengan Bram, Sheila berusaha keras untuk bangkit.
Berjuang untuk meraih impiannya.
Semuanya akan berlalu. Saat semuanya
berlalu, semua ini akan tinggal kenangan, baik pahit maupun manis, dalam
kehidupanmu. – hal. 174
Lima
tahun berlalu dan begitu banyak hal yang berubah. Namun cinta Sheila kepada
Bram akan selalu sama. Tanpa disangka
mereka bertemu kembali, dalam kondisi yang tidak mereka harapkan. Jalan hidup
Sheila tidak mudah. Banyak sekali rintangan yang harus ia hadapi. Mampukah ia
menghadapi kerasnya hidup ini? Kala kenyataan lain mulai muncul, sanggupkah ia
menerima dan memaafkan?
Huuaah.
Berat sekali rasanya menjadi seorang Sheila. Kehidupannya terlalu menyedihkan.
Dari kecil hingga dewasa, tidak banyak hal bahagia yang dilaluinya. Namun Tuhan
selalu memberikan jalan terbaik. Ketika hidup ini berjalan begitu- begitu saja,
kejutan lain muncul. Apa yang ditanam, itulah yang akan dituai nantinya.
Membaca
novel karya Mbak Agnes selalu memberikan suasana yang berbeda. Penempatan alur
dan penyampaian cerita sangat pas, membuat pembaca tidak hanya mudah memahami
cerita tapi juga dapat benar- benar menyatu dengan cerita. Meski terkesan sangat ironis, penggalan-
penggalan kejadian dalam novel ini membuat saya teringat kembali bahwa memang
ada hal seperti itu.
Ada
beberapa teman sesama pembaca novel yang bilang, “ending nya selalu tertebak”. Menurut saya sih memang iya, namun
saya menikmati proses cerita di setiap novel Mbak Agnes. Menarik untuk terus
diikuti dan tidak terasa membosankan.
Sinopsis
:
Wajah Sheila berubah murung. “Bapak mau
bilang karena saya anak pembunuh, kan? Saya punya sifat kejam dalam diri saya,
makanya berkali- kali saya mendapat masalah.”
“Kamu memiliki banyak sifat istimewa.
Kamu perhatian pada orang lain, kamu ingin sekali terlibat secara emosional
dengan manusia lain. Singkatnya, kamu sensitif dan peduli terhadap orang lain.
Tapi orang- orang dengan sifat seperti ini punya kelemahan.”
“Apa kelemahannya?”
“Jika orang lain kurang peduli
terhadapnya, ia akan membenci orang itu.”
Sebuah
miniatur piano menjadi kenangan terakhir Sheila akan ibunya. Ibunya meninggal
karena dibunuh ayahnya sendiri dan sang ayah dipenjara. Tinggal Sheila sebatang
kara, tanpa kasih sayang orang tua di usianya yang masih belia.
Uluran
tangan dari saudara angkat ayahnya ternyata membawa kepahitan lain. Sheila
dijadikan pembantu di tempat tinggalnya yang baru dan berulang kali dianiaya
secara mental. Sikap keras gadis itu sering kali dikaitkan dengan latar
belakangnya yang berayah pembunuh. Sheila merasa takut akan emosinya yang mudah
sekali meledak sehingga menyerang orang- orang yang melukai harga dirinya.
Satu-
satunya orang yang mengulurkan tangan tulus padanya hanyalah Bram, pria timpang
yang memendam banyak kepahitan akibat kondisi fisiknya. Bisakah ikatan yang
terjalin di antara mereka mengembalikan jiwa Sheila yang terluka dan merindukan
ibunya?